MAKNA PAKAIAN PENGHULU DAN BUNDO KANDUANG PADA PERTUNJUKAN DETA DATUAK
MAKNA PAKAIAN PENGHULU
DAN BUNDO KANDUANG PADA PERTUNJUKAN DETA DATUAK
A. Fungsi dan Simbol
Warna Dalam Busana Tari
Adapun yang dimaksud dengan busana atau pakaian tari ialah semua yang dipakai penari terdiri dari pakaian, perhiasan, dan perlengkapannya. Busana atau pakaian di dalam tari memiliki beragam fungsi, sebagai berikut:
1. Fungsi psikis : busana adalah lingkungan penari yang paling dekat dan akrab.
2. Fungsi artistik : busana adalah aspek seni rupa dalam penampilan tari yang menggambarkan identitas tarian/pemeran melalui, garis, bentuk, corak, dan warna busana. Dengan demikian maka pemeran seorang tokoh harus dikenal dari corak-coraknya.
3. Fungsi estetik : busana merupakan unsur keindahan tarian/peran yang menyatu dengan tubuh penari. Busana disini berfungsi membantu mengungkapkan karakter peran.
Di dalam seni tari tradisi, terntu akan dibalut oleh unsur-unsur seni rupa yang bersifat tradisi pula dan memiliki nilai serta makna yang telah membaku. Selain fungsi di atas, pada busana atau pakaian tari tradisional terdapat warna-warna simbolis umpamanya:
1. Warna merah sifatnya menarik sebagai simbol keberanian, agresif, aktif, raja sombong, ksatria putri, dan memiliki sifat teatrikal.
2. Warna biru sifatnya tenteram sebagai simbol kesetiaan, cocok untuk ksatria dan putri yang setia penuh dengan pengabdian.
3. Warna hitam adalah bijaksana, cocok untuk peran raja, ksatria, putri, pendeta bijaksana.
4. Warna kuning berkesan gembira dan agung.
5. Warna putih memiliki kesan muda dan suci(15). (Risyani, Pengantar Pengetahuan Tari. Departemen Pendidikan Nasional STSI Bandung,2005,h.33-34).
B. Pakaian Penghulu
Pada dasarnya pakaian Penghulu yang digunakan pada saat pertunjukan Deta Datuak tidak jauh berbeda dengan pakaian Penghulu yang dipakai di berbagai daerah di Sumatera Barat. Pada pertunjukan Deta Datuak tersebut, pakaian Penghulu terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Pakaian pertama Penghulu yang terdiri dari:
• Baju takwa berwarna putih
• Celana lapang (besar)
• Sisamping (samping)
• Cawek (ikat pinggang)
• Tongkat
2. Pakaian kedua Penghulu yang terdiri dari:
• Saluak
• Baju lapang (besar)
• Baju takwa
• Celana lapang (besar)
• Sisamping (samping)
• Cawek (ikat pinggang)
• Tongkat
3. Pakaian sekumpulan Penghulu yang terdiri dari:
• Saluak
• Baju lapang (besar)
• Celana lapang (besar)
• Sisamping (samping)
• Cawek (ikat pinggang)
• Sandang (salempang)
• Selop
• Tongkat
C. Makna Pakaian Penghulu
Sebagaimana kita ketahui dan kita lihat, pakaian Penghulu di Minangkabau sangat berlainan dengan pakaian-pakaian pemuka-pemuka adat di daerah lain. Pakaian Penghulu yang disebut diatas sebenarnya tidaklah dibuat demikian saja, tetapi cukup mempunyai hikmah dan falsafah yang mengandung ajaran-ajaran bagi si pemakainya (Penghulu). Dan pada pakaian itu sebenarnya terkandung banyak sekali rahasia yang menyangkut sifat-sifat dan martabat serta larangan seorang Penghulu begitupun tugasnya dan kepemimpinannya (ilmu yang bersangkutan dengan leadership)(16. H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau.PT. Remadja Rosdakarya Bandung, 2001, h.104-105)
1.Saluak
• Melambangkan sistem pemerintahan demokrasi dalam masyarakat Minangkabau.
• Melambangkan penyimpanan segala buruk baik, segala rahasia yang merupakan persoalan dalam masyarakatnya.
• Warna merah melambangkan keberanian.
• Warna hitam yang melambangkan dapat bekerjasama dalam bidang apa saja untuk kebaikan kaumnya atau masyarakat pada umumnya.
• Melambangkan bahwa Penghulu mempunyai derajat yang tertinggi dalam masyarakatnya.
• Melambangkan bahwa dalam mencari mufakat akan diperoleh suatu keputusan yang datar dan adil bagi segala pihak.
• Melambangkan bahwa orang yang memakainya adalah orang yang tahu dengan seluk beluk adat Minangkabau.
• Melambangkan kedalaman ilmu orang yang memakainya.
2. Baju lapang (besar)
• Melambangkan bahwa pemakainya adalah orang besar, beralam luas, berdada lapang dan bersifat sabar.
• Melambangkan keterbukaan pemimpin dan kelapangan dadanya.
• Selalu ingat dan menjaga kelestarian adat.
• Berilmu, berwibawa, bermagrifat, yakni tawakal kepada Allah.
• Kaya dan miskin terletak pada hati dan kebenaran.
• Hemat dan cermat.
• Sabar dan ridho.
• Melambangkan bahwa Penghulu tidak mempunyai sifat pembohong atau tidak pendusta, tidak mempunyai sifat mengambil kesempatan dalam kesempitan.
• Melambangkan bahwa Penghulu tidak berbuat merugikan orang lain atau kawan sendiri.
• Melambangkan bahwa orang Minangkabau hidup dengan penuh perasaan.
• Warna hitam melambangkan bahwa sepatah kata Penghulu tidak dapat dirubah lagi, karenanya semuanya yang dikatakan Penghulu itu merupakan hasil musyawarah bersama.
3. Celana lapang (besar)
• Melambangkan langkah yang selesai untuk menjaga segala kemungkinan musuh yang datang tiba-tiba. Walaupun lapang tetapi langkahnya mempunyai batas-batas tertentu dan mempunyai tata tertib tertentu pula.
• Melambangkan agar bersifat jujur, benar dan tulus-ikhlas.
• Melambangkan jangan berlindung pada orang lain semaunya, jangan suka enak sendiri dalam masyarakat.
4.Sisamping (samping)
• Melambangkan orang yang memakainya akan selalu hormat-menghormati.
• Warna merah melambangkan keberanian dan bertanggung jawab.
• Melambangkan si pemakai mempunyai pengetahuan yang cukup dalam bidangnya.
• Melambangkan agar pemakai dalam berjalan harus memelihara kaki, dan dalam berkata pelihara lidah. Dengan kata lain ”samping” tersebut dapat dikatakan melambangkan ”kehati-hatian” pemakai dalam segala tindak-tanduknya dalam masyarakat.
5.Cawek (ikat pinggang)
• Melambangkan setiap sesuatu itu harus dengan rundingan menyelesaikannya. Penghulu tidak boleh menjadi hakim sendiri.
• Melambangkan keteguhan orang Minangkabau pada perjanjian.
6.Sandang (salempang)
• Melambangkan tanggung jawab seorang Penghulu terhadap kesejahteraan anak kemenakannya.
• Melambangkan tanda kebesaran seorang Penghulu.
• Melambangkan bahwa Penghulu itu adalah orang yang jujur dan selalu menepati janji yang telah dibuat bersama.
• Melambangkan penghapus keringat yang terdapat pada kening.
7.Tongkat
• Melambangkan kebesaran pemakaianya, atau orang yang harus didahulukan dan dituakan sepanjang adat.
• Melambangkan kemampuan dan kemakmuran negeri.
• Melambangkan komando terhadap anak kemenakan.
• Melambangkan bahwa tiap-tiap keputusan yang telah dibuat, tiap peraturan yang telah ditetapkan harus dipertahankan dan ditegakkan dengan penuh wibawa.
• Melambangkan bahwa semua masalah tidak dikuasai sendiri dan tidak diselesaikan atau dihakimi sendiri.
• Melambangkan sebagai pertahanan diri terhadap serangan musuh.
• Melambangkan bahwa Penghulu mempunyai pembantu dalam menjalankan tugasnya(17. Drs.Anwar Ibrahim,dkk, Pakaian Adat Tradisional Daerah Sumatera Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986,h.29-98).
8. Baju takwa putih
• Melambangkan kesucian hati seorang Penghulu.
• Melambangkan kejernihan pikiran seorang Penghulu dalam pengambilan keputusan.
• Melambangkan bahwa Penghulu adalah seorang yang bertakwa kepada Tuhan.
9. Selop
Disini selop hanya berfungsi sebagai pelindung / pengaman kaki agar tidak terkena benda tajam, disamping itu juga perlindungan terhadap diri seorang Penghulu.
D. Pakaian Bundo Kanduang
Pada dasarnya pakaian Bundo Kanduang yang digunakan pada saat pertunjukan Deta Datuak tidak jauh berbeda dengan pakaian Bundo Kanduang yang dipakai di berbagai daerah di Sumatera Barat. Pada pertunjukan Deta Datuak tersebut, pakaian Bundo Kanduang terdiri dari:
1. Tengkuluk tanduk
2. Baju bertanti
3. Sarung (lambak)
4. Kalung
5. Gelang
6. Selop
Pakaian Bundo Kanduang
E. Makna Pakaian Bundo Kanduang
Pakaian Bundo Kanduang yang disebut diatas sebenarnya tidaklah dibuat demikian saja, tetapi cukup mempunyai hikmah dan falsafah yang mengandung ajaran-ajaran bagi si pemakainya (Bundo Kanduang)(Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau.
1. Tengkuluk tanduk
• Melambangkan rumah adat Minangkabau.
• Melambangkan akal budi Bundo Kanduang menyebar untuk masyarakat banyak.
• Melambangkan bahwa dalam memutuskan sesuatu haruslah dengan musyawarah mufakat dan hasilnya harus adil.
• Melambangkan tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan kepada Bundo Kanduang harus dijunjung tinggi.
2. Baju bertanti
• Melambangkan kekayaan alam Minangkabau dengan emas.
• Melambangkan masyarakat yang bermacam ragam berada dalam satu wadah yaitu adat Minangkabau.
• Melambangkan ketaatan Bundo Kanduang dalam menjalankan agama Islam.
• Melambangkan demokrasi yang luas di Minangkabau tetapi berada pada batas-batas tertentu.
• Warna merah melambangkan keberanian dalam menyatakan kebenaran.
• Warna hitam melambangkan tahan gempa dan dapat pergi kemana saja dalam melaksanakan tugasnya.
3.Sarung (lambak)
• Melambangkan bahwa dia seorang ”putri” yang memiliki tertib sopan dan mempunyai rasa jormat menghormati.
• Warna merah atau minimal kemerah-merahan sebagai lambang keberanian dan bertanggung jawab.
• Melambangkan bahwa segala sesuatu harus diletakkan pada tempatnya.
4.Kalung
• Melambangkan bahwa semua rahasia dikumpulkan oleh Bundo Kanduang.
• Melambangkan bahwa kebenaran akan tetap berdiri teguh.
• Melambangkan bahwa Bundo Kanduang menyimpan harta pusaka.
5.Gelang
• Melambangkan keindahan dan memamerkan kemampuan/kekayaan sipemakai.
• Pemakaian gelang melambangkan batas-batas yang dapat dilakukan oleh seorang dalam kehidupan ini.
• Melambangkan bahwa dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan.
• Melambangkan kedisiplinan adat Minangkabau(19).
6. Selop
Disini selop hanya berfungsi sebagai pelindung / pengaman kaki agar tidak terkena benda tajam, disamping itu juga perlindungan terhadap diri seorang Bundo Kanduang.
Pakaian adat tradisional Penghulu dan Bundo Kanduang mempunyai bermacam-macam variasi pada beberapa daerah tertentu di Minangkabau, i
Adapun yang dimaksud dengan busana atau pakaian tari ialah semua yang dipakai penari terdiri dari pakaian, perhiasan, dan perlengkapannya. Busana atau pakaian di dalam tari memiliki beragam fungsi, sebagai berikut:
1. Fungsi psikis : busana adalah lingkungan penari yang paling dekat dan akrab.
2. Fungsi artistik : busana adalah aspek seni rupa dalam penampilan tari yang menggambarkan identitas tarian/pemeran melalui, garis, bentuk, corak, dan warna busana. Dengan demikian maka pemeran seorang tokoh harus dikenal dari corak-coraknya.
3. Fungsi estetik : busana merupakan unsur keindahan tarian/peran yang menyatu dengan tubuh penari. Busana disini berfungsi membantu mengungkapkan karakter peran.
Di dalam seni tari tradisi, terntu akan dibalut oleh unsur-unsur seni rupa yang bersifat tradisi pula dan memiliki nilai serta makna yang telah membaku. Selain fungsi di atas, pada busana atau pakaian tari tradisional terdapat warna-warna simbolis umpamanya:
1. Warna merah sifatnya menarik sebagai simbol keberanian, agresif, aktif, raja sombong, ksatria putri, dan memiliki sifat teatrikal.
2. Warna biru sifatnya tenteram sebagai simbol kesetiaan, cocok untuk ksatria dan putri yang setia penuh dengan pengabdian.
3. Warna hitam adalah bijaksana, cocok untuk peran raja, ksatria, putri, pendeta bijaksana.
4. Warna kuning berkesan gembira dan agung.
5. Warna putih memiliki kesan muda dan suci(15). (Risyani, Pengantar Pengetahuan Tari. Departemen Pendidikan Nasional STSI Bandung,2005,h.33-34).
B. Pakaian Penghulu
Pada dasarnya pakaian Penghulu yang digunakan pada saat pertunjukan Deta Datuak tidak jauh berbeda dengan pakaian Penghulu yang dipakai di berbagai daerah di Sumatera Barat. Pada pertunjukan Deta Datuak tersebut, pakaian Penghulu terbagi menjadi tiga, yaitu:
1. Pakaian pertama Penghulu yang terdiri dari:
• Baju takwa berwarna putih
• Celana lapang (besar)
• Sisamping (samping)
• Cawek (ikat pinggang)
• Tongkat
2. Pakaian kedua Penghulu yang terdiri dari:
• Saluak
• Baju lapang (besar)
• Baju takwa
• Celana lapang (besar)
• Sisamping (samping)
• Cawek (ikat pinggang)
• Tongkat
3. Pakaian sekumpulan Penghulu yang terdiri dari:
• Saluak
• Baju lapang (besar)
• Celana lapang (besar)
• Sisamping (samping)
• Cawek (ikat pinggang)
• Sandang (salempang)
• Selop
• Tongkat
C. Makna Pakaian Penghulu
Sebagaimana kita ketahui dan kita lihat, pakaian Penghulu di Minangkabau sangat berlainan dengan pakaian-pakaian pemuka-pemuka adat di daerah lain. Pakaian Penghulu yang disebut diatas sebenarnya tidaklah dibuat demikian saja, tetapi cukup mempunyai hikmah dan falsafah yang mengandung ajaran-ajaran bagi si pemakainya (Penghulu). Dan pada pakaian itu sebenarnya terkandung banyak sekali rahasia yang menyangkut sifat-sifat dan martabat serta larangan seorang Penghulu begitupun tugasnya dan kepemimpinannya (ilmu yang bersangkutan dengan leadership)(16. H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau.PT. Remadja Rosdakarya Bandung, 2001, h.104-105)
1.Saluak
• Melambangkan sistem pemerintahan demokrasi dalam masyarakat Minangkabau.
• Melambangkan penyimpanan segala buruk baik, segala rahasia yang merupakan persoalan dalam masyarakatnya.
• Warna merah melambangkan keberanian.
• Warna hitam yang melambangkan dapat bekerjasama dalam bidang apa saja untuk kebaikan kaumnya atau masyarakat pada umumnya.
• Melambangkan bahwa Penghulu mempunyai derajat yang tertinggi dalam masyarakatnya.
• Melambangkan bahwa dalam mencari mufakat akan diperoleh suatu keputusan yang datar dan adil bagi segala pihak.
• Melambangkan bahwa orang yang memakainya adalah orang yang tahu dengan seluk beluk adat Minangkabau.
• Melambangkan kedalaman ilmu orang yang memakainya.
2. Baju lapang (besar)
• Melambangkan bahwa pemakainya adalah orang besar, beralam luas, berdada lapang dan bersifat sabar.
• Melambangkan keterbukaan pemimpin dan kelapangan dadanya.
• Selalu ingat dan menjaga kelestarian adat.
• Berilmu, berwibawa, bermagrifat, yakni tawakal kepada Allah.
• Kaya dan miskin terletak pada hati dan kebenaran.
• Hemat dan cermat.
• Sabar dan ridho.
• Melambangkan bahwa Penghulu tidak mempunyai sifat pembohong atau tidak pendusta, tidak mempunyai sifat mengambil kesempatan dalam kesempitan.
• Melambangkan bahwa Penghulu tidak berbuat merugikan orang lain atau kawan sendiri.
• Melambangkan bahwa orang Minangkabau hidup dengan penuh perasaan.
• Warna hitam melambangkan bahwa sepatah kata Penghulu tidak dapat dirubah lagi, karenanya semuanya yang dikatakan Penghulu itu merupakan hasil musyawarah bersama.
3. Celana lapang (besar)
• Melambangkan langkah yang selesai untuk menjaga segala kemungkinan musuh yang datang tiba-tiba. Walaupun lapang tetapi langkahnya mempunyai batas-batas tertentu dan mempunyai tata tertib tertentu pula.
• Melambangkan agar bersifat jujur, benar dan tulus-ikhlas.
• Melambangkan jangan berlindung pada orang lain semaunya, jangan suka enak sendiri dalam masyarakat.
4.Sisamping (samping)
• Melambangkan orang yang memakainya akan selalu hormat-menghormati.
• Warna merah melambangkan keberanian dan bertanggung jawab.
• Melambangkan si pemakai mempunyai pengetahuan yang cukup dalam bidangnya.
• Melambangkan agar pemakai dalam berjalan harus memelihara kaki, dan dalam berkata pelihara lidah. Dengan kata lain ”samping” tersebut dapat dikatakan melambangkan ”kehati-hatian” pemakai dalam segala tindak-tanduknya dalam masyarakat.
5.Cawek (ikat pinggang)
• Melambangkan setiap sesuatu itu harus dengan rundingan menyelesaikannya. Penghulu tidak boleh menjadi hakim sendiri.
• Melambangkan keteguhan orang Minangkabau pada perjanjian.
6.Sandang (salempang)
• Melambangkan tanggung jawab seorang Penghulu terhadap kesejahteraan anak kemenakannya.
• Melambangkan tanda kebesaran seorang Penghulu.
• Melambangkan bahwa Penghulu itu adalah orang yang jujur dan selalu menepati janji yang telah dibuat bersama.
• Melambangkan penghapus keringat yang terdapat pada kening.
7.Tongkat
• Melambangkan kebesaran pemakaianya, atau orang yang harus didahulukan dan dituakan sepanjang adat.
• Melambangkan kemampuan dan kemakmuran negeri.
• Melambangkan komando terhadap anak kemenakan.
• Melambangkan bahwa tiap-tiap keputusan yang telah dibuat, tiap peraturan yang telah ditetapkan harus dipertahankan dan ditegakkan dengan penuh wibawa.
• Melambangkan bahwa semua masalah tidak dikuasai sendiri dan tidak diselesaikan atau dihakimi sendiri.
• Melambangkan sebagai pertahanan diri terhadap serangan musuh.
• Melambangkan bahwa Penghulu mempunyai pembantu dalam menjalankan tugasnya(17. Drs.Anwar Ibrahim,dkk, Pakaian Adat Tradisional Daerah Sumatera Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986,h.29-98).
8. Baju takwa putih
• Melambangkan kesucian hati seorang Penghulu.
• Melambangkan kejernihan pikiran seorang Penghulu dalam pengambilan keputusan.
• Melambangkan bahwa Penghulu adalah seorang yang bertakwa kepada Tuhan.
9. Selop
Disini selop hanya berfungsi sebagai pelindung / pengaman kaki agar tidak terkena benda tajam, disamping itu juga perlindungan terhadap diri seorang Penghulu.
D. Pakaian Bundo Kanduang
Pada dasarnya pakaian Bundo Kanduang yang digunakan pada saat pertunjukan Deta Datuak tidak jauh berbeda dengan pakaian Bundo Kanduang yang dipakai di berbagai daerah di Sumatera Barat. Pada pertunjukan Deta Datuak tersebut, pakaian Bundo Kanduang terdiri dari:
1. Tengkuluk tanduk
2. Baju bertanti
3. Sarung (lambak)
4. Kalung
5. Gelang
6. Selop
Pakaian Bundo Kanduang
E. Makna Pakaian Bundo Kanduang
Pakaian Bundo Kanduang yang disebut diatas sebenarnya tidaklah dibuat demikian saja, tetapi cukup mempunyai hikmah dan falsafah yang mengandung ajaran-ajaran bagi si pemakainya (Bundo Kanduang)(Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau.
1. Tengkuluk tanduk
• Melambangkan rumah adat Minangkabau.
• Melambangkan akal budi Bundo Kanduang menyebar untuk masyarakat banyak.
• Melambangkan bahwa dalam memutuskan sesuatu haruslah dengan musyawarah mufakat dan hasilnya harus adil.
• Melambangkan tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan kepada Bundo Kanduang harus dijunjung tinggi.
2. Baju bertanti
• Melambangkan kekayaan alam Minangkabau dengan emas.
• Melambangkan masyarakat yang bermacam ragam berada dalam satu wadah yaitu adat Minangkabau.
• Melambangkan ketaatan Bundo Kanduang dalam menjalankan agama Islam.
• Melambangkan demokrasi yang luas di Minangkabau tetapi berada pada batas-batas tertentu.
• Warna merah melambangkan keberanian dalam menyatakan kebenaran.
• Warna hitam melambangkan tahan gempa dan dapat pergi kemana saja dalam melaksanakan tugasnya.
3.Sarung (lambak)
• Melambangkan bahwa dia seorang ”putri” yang memiliki tertib sopan dan mempunyai rasa jormat menghormati.
• Warna merah atau minimal kemerah-merahan sebagai lambang keberanian dan bertanggung jawab.
• Melambangkan bahwa segala sesuatu harus diletakkan pada tempatnya.
4.Kalung
• Melambangkan bahwa semua rahasia dikumpulkan oleh Bundo Kanduang.
• Melambangkan bahwa kebenaran akan tetap berdiri teguh.
• Melambangkan bahwa Bundo Kanduang menyimpan harta pusaka.
5.Gelang
• Melambangkan keindahan dan memamerkan kemampuan/kekayaan sipemakai.
• Pemakaian gelang melambangkan batas-batas yang dapat dilakukan oleh seorang dalam kehidupan ini.
• Melambangkan bahwa dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan.
• Melambangkan kedisiplinan adat Minangkabau(19).
6. Selop
Disini selop hanya berfungsi sebagai pelindung / pengaman kaki agar tidak terkena benda tajam, disamping itu juga perlindungan terhadap diri seorang Bundo Kanduang.
Pakaian adat tradisional Penghulu dan Bundo Kanduang mempunyai bermacam-macam variasi pada beberapa daerah tertentu di Minangkabau, i
PENGHULU NINIK MAMAK DI
MINANG KABAU
PENGHULU NINIK MAMAK DI MINANG KABAU
Penghulu (dalam
bahasa Minang disebut Pangulu) dan ninik mamak di Minang Kabau mempunyai
peranan yang sangat penting dan menentukan dalam kekuatan kekerabatan adat Minang
itu sendiri, tanpa penghulu dan ninik mamak suatu nagari di Minang Kabau
diibaratkan seperti kampung atau negeri yang tidak bertuan karena tidak akan
jalan tatanan adat yang dibuat, “Elok
nagari dek Pangulu sumarak nagari dek nan mudo”
Pengertian Pangulu (Penghulu)
Pangulu berasal dari
kata Pangka dan Hulu (pangkal dan hulu) Pangkal artinya tampuk atau tangkai
yang akan jadi pegangan, sedangkan hulu artinya asal atau tempat awal keluar
atau terbitnya sesuatu, maka pangulu di Minang Kabau artinya yang memegang tampuk
tangkai yang akan menjadi pengendali pengarah pengawas pelindung terhadap anak
kemenakan serta tempat keluarnya sebuah
aturan dan keputusan yang dibutuhkan
oleh masyarakat anak kemenakan yang dipimpin pangulu, “Tampuak tangkai didalam suku nan mahitam mamutiahkan tibo dibiang
kamancabiak tibo digantaiang kamamutuih”
Pengertian Ninik Mamak
Ninik mamak adalah
merupakan satu kesatuan dalam sebuah lembaga perhimpunan Pangulu dalam suatu
kanagarian di Minang Kabau yang terdiri
dari beberapa Datuk-datuk kepala suku atau pangulu suku / kaum yang mana mereka
berhimpun dalam satu kelembagaan yang disebut Kerapatan Adat Nagari (KAN).
Diantara para datuk_datuk atau ninik mamak itu dipilih salah satu untuk menjadi
ketuanya itulah yang dinamakan Ketua KAN. Orang-orang yang tergabung dalam KAN inilah
yang disebut ninik mamak, “Niniak mamak
dalam nagari pai tampek batanyo pulang tampek babarito”
Pengertian Datuak (Datuk)
Datuak (Datuk)
adalah gelar pusako adat dalam suatu suku atau kaum yang diberikan kepada
seseorang dalam suku atau kaum itu sendiri dengan dipilih atau ditunjuk dan diangkat oleh anak kemenakan suatu suku
atau kaum yang bersangkutan melalui upacara adat dengan syarat-sayarat tertentu
menurut adat Minang.
Seorang Datuak dia adalah
pangulu dalam suku atau kaumnya dan sekaligus menjadi ninik mamak dalam
nagarinya, dengan pengertian yang lebih rinci lagi : Datuak gelarnya, Pangulu
Jabatannya dan Ninik mamak lembaganya dalam nagari.
Sebagai Datauak dia
harus menjaga martabatnya karena gelar datuak yang disandangnya adalah gelar
kebesaran pusaka adat dalam suku atau kaumnya, banyak pantangan dan larangan
yang tidak boleh dilanggar oleh seseorang yang bergelar datuak dan tidak sedikit pula sifat-sifat positif
yang wajib dimilikinya.
Sebagai Pangulu dia
harus tau tugas dan tanggung jawabnya terhadap saudara dan kemenakannya dalam
membina, mengayomi, melindungi dan mengatur pemanfaatan harta pusaka tinggi dan
tanah ulayat untuk kemakmuran saudara dan kemenakannya, namun dia juag harus
tetap menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga di rumah
tangganya terhadap anak dan istrinya, “Anak
dipangku jo pancarian, kamanakan dibimbiang jo pusako”
Sebagai anggota
ninik mamak dia adalah perwakilan dari
suku atau kaumnya layaknya seperti anggota DPRD (dalam istilah MInang disebut Andiko) dalam pemerintahan nagari yang
mewakili konstituennya untuk menyampaikan dan memperjuangakan aspirasi kaum
yang dipimpinnya serta untuk membantu menyelesaikan berbagai permasalahan yang
timbul pada anak kemenakannya dalam nagari, “Andiko didalam kampuang kusuak nan kamanyalasai karuah nan
kamampajaniah”
Berbagai
permasalahan anak kemenakan yang berhubungan dengan hidup bernagari dan
berkorong kampung dibahas oleh ninik mamak dari berbagai pengulu kepala suku
atau atau datuk – datuk kaum bersama alim ulama cerdik pandai serta
pemerintahan nagari di Balai Adat yang disebut balerong dalam Kerapatan Adat
Nagari (KAN), “Balerong ditanah Minang
tampek duduk nak samo randah, tampek tagak nak samo tinggi, tampek duduak
bajalan baiyo, tampek tagak bakato bamolah, tampek manjari bana nan saukua nak
tibo kato dimufakat, tampek mahukum nak samo adia, tampek mambagi nak samo
banyak”
Hasil musyawarah
mufakat inilah yang dijadikan pedoman dalam menata kehidupan bermasyarakat di
dalam suatu kenagarian dan disinilah dirumuskan Adat nan diadatkan beserta Adat
Istiadat yang disesuaikan dengan kebutuhan situasi kondisi serta perkembangan
masyarakat dan kemajuan zaman yang tentunya tetap mengacu kepada landasan Adat
Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah.
Dalam melaksanakan
tugasnya Pangulu dipanggil dengan sebutan “Urang
nan gadang basa batuah” dia gadang pada kaumnya dia basa pada sukunya dan
dia batuah dalam nagari, gadang dalam kaumnya artinya seorang pengulu dia
dibesarkan atau dituakan selangkah dalam kaumnya, dan basa pada sukunya artinya
dia menjadi panutan, pemimpin pengatur dalam sukunya, sedangkan batuah dalam
nagari artinya seorang pangulu karena dia ninik mamak maka apa-apa yang
dikatakan dan diperbuatnya juga menjadi acuan sehingga dia disegani dan
dihormati dalam nagari.
Seorang pangulu
adalah pucuk pimpinan dalam kaumnya pada suatu unit pemerintahan dalam nagari,
pangulu dibantu oleh tiga unsur perangkat adat yaitu :
1.
Malin yang
membidangi persoalan agama
2.
Manti sebagai
pelaksana kebijakan
3.
Dubalang ysng
brtsnggung jswab terhadap keamanan
Inilah yang disebut
urang nan ampek jinih yaitu Pangulu, Malin, Manti dan Dubalang.
Memilih dan mengukuhkan seorang Pangulu atau datuak.
Seorang Datuaul atau
pangulu dipilih dan dinobatkan apabila terjadi beberapa hal dalam suatu suku
atau kaum :
1.
Apa bila Datuk
atau Pangulu yang terdahulu tealah meninggal dunia (Patah tumbuah hulang baganti)
2.
Apa bila Datauk
atau Pangulu yang saat ini sedang menyandang gelar datuak telah berusia lanjut atau
dalam keadaan sakit berat dan tidak mungkin atau sanggup lagi untuk menjalankan
tugas-tugasnya sebagai Datauak atau Pangulu. (Hilang dicari lapuak diganti)
3.
Apa bila Datauak
yang sedang menyandang gelar Datuak atau Pangulu saai ini mengundurkan diri
minta diganti, (Malatak-an gala)
4.
Apa bila terjadi
pelanggaran moral, adat dan agama serta hukum yang berlaku lainnya oleg orang
yang menyandang gelar Datuak atau Pangulu saat ini dan anak kemenakan sepakat
untuk menggantinya, (Mambuek cabuah jo
sumbang salah)
5.
Kalau ada Datauk
atau pangulu yang sudah lama tidak di angkat karena sesuatu hal dan saat ini
sudah memnuhi syarat untuk dianggkat (Mambangkik
Batang Tarandam)
Dalam tatanan adat
Minang Kabau ada 2 cara memilih seorang pangulu atau datuak :
1.
Menurut adat Suku
Bodi Chaniago dan pecahannya (banyak lagi nama suku suku yang lain pecahan dari
suku asal Bodi dan Chaniago ata Koto Piliang) seorang pangulu atau datuak
dipilih secara musyawarah mufakat oleh anak kemenakan suku tersebut berdasarkan
syarat-syarat tertentu dengan mempertimbangkan mungkin dan patut, dalam istilah
adat disebut “Hilang dicari lapuak
diganti, duduak samo randah tagak samo tinggi, duduak saamparan tagak
sapamatang”
2.
Menurut adat suku
Koto Piliang dan pecahannya seorang pangulu atau datauak dipilih berdasarkan
keturunan dan pergiliran gelar pengulu tersebut dalam suku atau kaum itu
berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan mempertimbangkan mungkin dan patut,
dalam istilah adat disebut “ramo ramo
sikumbang jati katik endah pulang bakudo, patah tumbuah hilang baganti pusako
lakek kanan mudo”, rueh tumbuah dimato.
Syarat-syarat seseorang dipilih menjadi seorang
pangulu atau datuak :
1.
Memenuhi 4 sifat
nabi Sidik, Tablihk, Amanah, dan Fthanah
2.
Loyalitas yang
tinggi terhadap kaum, suku, anak kemenakan dan nagari
3.
Berilmu
pengetahuan tentang adat dan agama dll
4.
Adil dalam
memimpin anak kemenakan dan keluarga
5.
Berani dalam
menegakkan kebenaran dan mencegah kebathilan
6.
Taat menjalankan
ajaran agama dan adat
7.
Tidak cacat moral
dimata masyarakat dalam nagari
8.
Mungkin dan
patut, ini yang paling dipertimbangkan, karena ada orang yang mungkin tapi
tidak patut, dan ada yang patut tapi tidak mungkin, contohnya adalah ada orang
yang memenuhi syarat-syarat diatas tetapi di hidup di rantau yang jauh, di
mungkin menjadi pangulu tetapi tidak patut karena dia jauh dirantau sedangkan
dia akan mengayomi dan mengurus anak kemenakannya dikampung, atau ada yang
tinggal dikampung namun tidak memenuhi syarat jadi pangulu, dia patut jadi
pangulu tapi tidak mungkin karena kurang persyaratan, yang masuk menurut
logika, “batamu mungkin jo patuik sasuai
ukua jo jangko takanak barih jo balabeh lah tibo wakatu jo musimnyo disitu alek
dibuek”
Pengukuhan dan penobatan pangulu
Setelah pangulu
dipilih dengan musyawarah mufakat melalui demokrasi moril secara adat antara
anak kemenakan dalam suatu suku atau kaum maka segenap anak kemenakan atau kaum
tersebut mempersiapkan acar pengukuhan pada sebuah upacara adat perjamuan
Baralek gadang dalam nagari dan ini disebut “malewakan kanan rami, bia basuluah mato hari bagalanggang mato rang
banyak”.
Dalam perjamuan
baralek gadang pengukuhan seorang pangulu terdapat beberapa symbol-simbol adat
diantaranya adalah :
1.
Mambantai
Kabau, “Kabau didabiah tanduak dibanam
darah dikacau dagiang dilapah” (menyembelih kerbau, kerbau disembelih,
tanduk ditanam, darah dikacau daging dimakan) pengertian menyembelih kerbau adalah
membunuk sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri seoerang pangulu, tanduk
ditanam artinya membuang sifat-sifat hewani yang cendrung melukai dan membinasakan
dari jiwa seorang pangulu pemimpin adat, sedangkan pengertian darah dikacau
adalah mendinginkan darah yang panas dalam hati seorang pemimpin, karean
seorang pangulu harus bejiwa teduh mengayomi dia harus tau kalau dia adalah
pemimpin tidak boleh berhati dan berdarah panas dalam menghadapi orang yang
dipimpinnya, dan dan pengertian daging dilapah adalah bahwa seorang ninik mamak
dia adalah tempat mengadu anak kemenakannya dikala susah dan kelaparan, harta
pusaka tinggi dan ulayat yang diaturnya adalah untuk kemakmuran anak
kemenakannya, “Kok pangulu lai dinan
bana bumi sanang padi manjadi taranak bakambang biak anak kamanakan basanang
hati urang kampuang sato manyukoi”
2.
Marawa
dipancangkan (mengibarkan umbul-umbul) dimedan perhelatan. Marawa 3 warna :
kuning, merah dan hitam berdiri kokoh menjulang tinggi keudara namun ujungnya
menjulai tunduk kebawah dengan pengertian :
1.
Warna kuning
melambangkan kekuasaan seorang pangulu (mahukum adia bakato bana)
2.
Warna merah
melambangkan keberanian (barani karano bana, takuaik karano salah)
3.
Warna hitam
melambangkan kesabaran dan ketabahan seorang pangulu dalam mengahadapi anak
kemenakannya.
4.
Berdiri kokoh
menjulang tinggi artinya seorang pangulu harus mempunyai wibawa dan
kharismatik ditengah-tengah kaum dan masyarakat
dalam nagari.
5.
Ujung marawa menjulai tunduk kebawah melambangkan walau
pangulu orang yang ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah namun dia
tetap harus melihat kebawah memperhatikan dan mengayomi orang yang dipimpinnya
dengan rendah hati memakai ilmu padi semakin berisi semakin tunduk.
3.
Malatuihan badia
sadantam (meletuskan bedil sedantam) nan gaganyo karonggo bimi dantangnyo
sampai kalangik (gegrnya kerongga bumi gaumnya sampai ke langit) itulah ikrar
seorang pengulu kepada manusia dan janjinya kepada Allah sebagai sumpah jabatan
yang mesti dipertanggung jawabkan.
Kedaulatan seorang Datuak atau Pangulu
Kedaulatan seorang
Datuak atau Pangulu di Minang Kabau tidak lebih seperti powernya seorang ketua
sebuah oprganisasi dia ada karena dipilih dan diangakat oleh kaumnya “nan
diamba gadang dianjuang tinggi”
gadangnyo karano diamba tinggunyo karano dianjuang, apa bila anak
kemenakan meninggikan dia maka tinggilah dia, tinggi dimata anak kemenakan dan
tinggi dimata urang nagari tapi kalau anak kemenakan sudah tidak menghormatinya
lagi maka dengan sendirinya hilang pulalah kehormatan seorang datauak atau
pangulu.
Pemberhentian
seorang Datauak atau pangulu tidaklah harus menunggu satu priode masa jabatan
karena tidak ada batasan masa jabatan seorang Pangulu atau datuak di Ranah
Minang, kalau seorang datuak atau pangulu telah berbuat sumbang salah menurut
adat dan agama maka gelar datauak atau pengulunya sudah bisa dilucuti atau
diberhentikan jadi datauak atau pangulu dan menggantinya dengan yang lain “Kalau punco mararak ulu kalau pasak
mambaok guyah kalau tungkek mambaok rabah mohon datuak baganjua suruik banyak nan
lain kapangganti”
Batasan antara
Datauk atau Pangulu dengan anak kemenakan yang dipimpinnya hanyalah sebatas
kejujuran dalam mungkin dan patuik, oleh sebab itu maka seorang pangulu
haruslah adil dan bijak sana dalam memimpin anak kemenakannya, “Jikoklah tagak dinan cupiang manampuah
jalan baliku, bakato indak dinan bana, mahukum indak dinan adia mambagi bak
kato surang disinan baju balipeknyo mamak diganti jonan lain”.
Kekuasaan Ninik
mamak dalam adat Minang kabau hanyalah “tinggi
sarantiang jumbo-jomboan sarangguik runtuah badaram, didahulukan cuman
salangkah bajarak tungkai-tungkaian sahambua lompeklah tibo sadatiak wakatu
nampak satitiak salah basuo baitu ukua jo jangko di dalam alam Minang Kabau”.
Namun demikian
ditangan pangulu berhimpun kekuasaan yang besar dalam menjalankan tugas
membimbing dan mengatur anak kemenakannya, ninik mamak mampunyai fungsi
Eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan, fungsi Legislatif sebagai pembuat aturan
dan funsi yudikatif sebagai pengambik keadilan, funsi ini dilakukan oleh ninik
mamak yang disebut “uarang nan ampek jinih” (pangulu, malin, manti dan
dubalang) yang mana pangulu sebagai koordinatornya.
Itulah sebabnya
Pangulu dan urang nan ampek jinih disebut “Bak
kayu gadang ditangah koto ureknyo tampek baselo batangnyo tampek basanda
dahannyo tampek bagantuang daun rimbunnyo tampek bataduah, tampek bahimpun
hambo rakyat, pai tampek batanyo pulang tampek babarito, sasek nan kamanyapo
tadorong nan kamanyintak, tibo dikusuik kamanyalasai tibo dikaruah mampajaniah,
mahukum adia bakato bana”
Pangulu dan ninik
mamak adalah Ulil amri yang wajib ditaati dan dipatuhi karena dia adalah
pemimpin yang dipilih oleh anak kemenakannya sendiri “Tutua sakapa digunuangkan
kakok satitiak dilauikkan” dia dimulyakan dihormati dan dijaga martabatnya oleh
anak kemenakannya karena Pangulu di Minang Kabau adalah lambang kebesaran suatu
suku atau kaum yang wajib dijaga dan dimulyakan.
Namun Pangulu dan
ninik mamak bukanlah seperti raja-raja yang harus disembah dan dipuja setinggi
langit dan dia tidak boleh dikultuskan seperti dewa-dewa bangsa lain, di Minang
Kabau tidak ada istilah bangsawan walaupun dia seoerang datuk apalagi hanya
keturunan datuk, di Minang Kabau semua derajat manusia sama tidak ada bedanya,
pemimpin adat hanyalah ditinggikan seranting didahulukan selangkah dan dituakan
dalam kaum.
Dalam Pakaian
Pangulu mulai dari Salauk (Tutup kepala) baju, salempang, celana, keris, ikat
pinggang dan sandal semuanya mempunyai arti dan makna yang sangat luas untuk
dipahami oleh seorang yang bergelar Datuak atau pengulu.
Tatanan masyarakat
Mianag kabau memakai palsapaf “Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo
kapangulu, pangulu barajo kamufakat, mufakat barajo kanan bana, bana badiri
sandirinyo, itulah inyo hokum Allah”.
MINANGKABAU DALAM SEJARAH DAN TAMBO
MINANGKABAU DALAM SEJARAH DAN TAMBO
Asal Masyarakat Minangkabau
Kata Minangkabau mengandung banyak pengertian. Minangkabau dipahamkan sebagai sebuah kawasan budaya, di mana penduduk dan masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Kawasan budaya Minangkabau mempunyai daerah yang luas. Batasan untuk kawasan budaya tidak dibatasi oleh batasan sebuah propinsi. Berarti kawasan budaya Minangkabau berbeda dengan kawasan administratif Sumatera Barat.
Minangkabau dipahamkan pula sebagai sebuah nama dari sebuah suku bangsa, suku Minangkabau. Mempunyai daerah sendiri, bahasa sendiri dan penduduk sendiri.
Minangkabau dipahamkan juga sebagai sebuah nama kerajaan masa lalu, Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Sering disebut juga kerajaan Pagaruyung, yang mempunyai masa pemerintahan yang cukup lama, dan bahkan telah mengirim utusan-utusannya sampai ke negeri Cina. Banyaknya pengertian yang dikandung kata Minangkabau, maka tidak mungkin melihat Minangkabau dari satu pemahaman saja.
Membicarakan Minangkabau secara umum mendalami sebuah suku bangsa dengan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama, dan segala aspek kehidupan masyarakatnya. Mengingat hal seperti itu, ada dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam mengkaji Minangkabau, yaitu sumber dari sejarah dan sumber dari tambo. Kedua sumber ini sama penting, walaupun di sana sini, pada keduanya ditemui kelebihan dan kekurangan, namun dapat pula saling melengkapi.
Menelusuri sejarah tentang Minangkabau, sebagai satu cabang dari ilmu pengetahuan, maka mesti didasarkan bukti-bukti yang jelas dan otentik. Dapat berupa peninggalan-peninggalan masa lalu, prasasti-prasasti, batu tagak (menhir), batu bersurat, naskah-naskah dan catatan tertulis lainnya. Dalam hal ini, ternyata bukti sejarah lokal Minangkabau termasuk sedikit.
Banyak catatan dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsche Indie), tentang Minaangkabau atau Sumatera West Kunde, yang amat memerlukan kejelian di dalam meneliti. Hal ini disebabkan, catatan-catatan dimaksud dibuat untuk kepentingan pemerintahan Belanda, atau keperluan dagang oleh Maatschappij Koningkliyke VOC.
Tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerakan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah Minangkabau sekarang. Sungguhpun, penelusuran tambo sulit untuk dicarikan rujukan seperti sejarah, namun apa yang disebut dalam tambo masih dapat dibuktikan ada dan bertemu di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Tambo diyakini oleh orang Minangkabau sebagai peninggalan orang-orang tua. Bagi orang Minangkabau, tambo dianggap sebagai sejarah kaum. Walaupun, di dalam catatan dan penulisan sejarah sangat diperhatikan penanggalan atau tarikh dari sebuah peristiwa, serta di mana kejadian, bagaimana terjadinya, bila masanya, dan siapa pelakunya, menjadikan penulisan sejarah otentik. Sementara tambo tidak terlalu mengutamakan penanggalan, akan tetapi menilik kepada peristiwanya. Tambo lebih bersifat sebuah kisah, sesuatu yang pernah terjadi dan berlaku.
Tentu saja, bila kita mempelajari tambo kemudian mencoba mencari rujukannya sebagaimana sejarah, kita akan mengalami kesulitan dan bahkan dapat membingungkan. Sebagai contoh; dalam tambo Minangkabau tidak ditemukan secara jelas nama Adhytiawarman, tetapi dalam sejarah nama itu adalah nama raja Minangkabau yang pertama berdasarkan bukti-bukti prasasti.
Dalam hal ini sebaiknya sikap kita tidak memihak, artinya kita tidak menyalahkan tambo atau sejarah. Sejarah adalah sesuatu yang dipercaya berdasarkan bukti-bukti yang ada, sedangkan tambo adalah sesuatu yang diyakini berdasarkan ajaran-ajaran yang terus diturunkan kepada anak kemenakan.
Minangkabau menurut sejarah
Banyak ahli telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode kesejarahan; Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman kerajaan Pagaruyung. Seperti yang ditulis MD Mansur dkk dalam Sejarah Minangkabau, bahwa zaman sejarah Minangkabau pada zaman sebelum Masehi dan pada zaman Minangkabau Timur hanya dua persen saja yang punya nilai sejarah, selebihnya adalah mitologi, cerita-cerita yang diyakini sebagai tambo.
Prof Slamet Mulyana dalam Kuntala, Swarnabhumi dan Sriwijaya mengatakan bahwa kerajaan Minangkabau itu sudah ada sejak abad pertama Masehi.
Kerajaan itu muncul silih berganti dengan nama yang berbeda-beda. Pada mulanya muncul kerjaan Kuntala dengan lokasi sekitar daerah Jambi pedalaman. Kerajaan ini hidup sampai abad ke empat. Kerajaan ini kemudian berganti dengan kerajaan Swarnabhumi pada abad ke lima sampai ke tujuh sebagai kelanjutan kerajaan sebelumnya. Setelah itu berganti dengan kerajaan Sriwijaya abad ke tujuh sampai 14.
Mengenai lokasi kerajaan ini belum terdapat kesamaan pendapat para ahli. Ada yang mengatakan sekitar Palembang sekarang, tetapi ada juga yang mengatakan antara Batang Batang Hari dan Batang Kampar. Candi Muara Takus merupakan peninggalan kerajaan Kuntala yang kemudian diperbaiki dan diperluas sampai masa kerajaan Sriwijaya. Setelah itu muncul kerajaan Malayapura (kerajaan Melayu) di daerah yang bernama Darmasyraya (daerah Sitiung dan sekitarnya sekarang). Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini kemudian dipindahkan oleh Adhytiawarman ke Pagaruyung. Sejak itulah kerajaan itu dikenal dengan kerajaan Pagaruyung.
Menurut Jean Drakar dari Monash University Australia mengatakan bahwa kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang besar, setaraf dengan kerajaan Mataram dan kerajaan Melaka. Itu dibuktikannya dengan banyaknya negeri-negeri di Nusantara ini yang meminta raja ke Pagaruyung, seperti Deli, Siak, Negeri Sembilan dan negeri-negeri lainnya.
Minangkabau menurut tambo.
Dalam bentuk lain, tambo menjelaskan pula tentang asal muasal orang Minangkabau. Tambo adalah satu-satunya keterangan mengenai sejarah Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, tambo mempunyai arti penting, karena di dalamtambo terdapat dua hal:
(1) Tambo alam, suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung.
(2) Tambo adat, uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal dikembangkan.
Di dalam Tambo alam diterangkan bahwa raja pertama yang datang ke Minangkabau bernama Suri Maharajo Dirajo. Anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja di benua Cina. Secara tersirat tambo telah menempatkan kerajaan Minangkabau setaraf dengan kerajaan di benua Eropa dan Cina. Suri Maharajo Dirajo datang ke Minangkabau ini, di dalam Tambo disebut pulau paco lengkap dengan pengiring yang yang disebut; Kucing Siam, Harimau Campo, Anjiang Mualim, Kambiang Hutan.
Masing-masing nama itu kemudian dijadikan “lambang” dari setiap luhak di Minangkabau. Kucing Siam untuk lambang luhak Tanah Data, Harimau Campo untuk lambang luhak Agam dan Kambiang hutan untuk lambang luhak Limo Puluah. Suri Maharajo Dirajo mempunya seorang penasehat ahli yang bernama Cati Bilang Pandai.
Suri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto Piliang. Puti Indo Jalito, isteri Suri Maharajo Dirajo sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai dan melahirkan tiga orang anak, Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudian dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang pendiri kelarasan Bodi Caniago.
Datuk Katumanggungan meneruskan pemerintahannya berpusat di Pariangan Padang Panjang kemudian mengalihkannya ke Bungo Sitangkai di Sungai Tarab sekarang, dan menguasai daerah sampai ke Bukit Batu Patah dan terus ke Pagaruyung.
Maka urutan kerajaan di dalam Tambo Alam Minangkabau adalah:
(1) Kerajaan Pasumayan Koto Batu,
(2) Kerajaan Pariangan Padang Panjang
(3) Kerajaan Dusun Tuo yang dibangun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang
(4) Kerajaan Bungo Sitangkai
(5) Kerajaan Bukit Batu Patah dan terakhir
(6) Kerajaan Pagaruyung.
Menurut Tambo Minangkabau, kerajaan yang satu adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya. Karena itu, setelah adanya kerajaan Pagaruyung, semuanya melebur diri menjadi kawasan kerajaan Pagaruyung.
Kerajaan Dusun Tuo yang didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, karena terjadi perselisihan paham antara Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih nan Sabatang, maka kerajaan itu tidak diteruskan, sehingga hanya ada satu kerajaan saja yaitu kerajaan Pagaruyung. Perbedaan paham antara kedua kakak beradik satu ibu ini yang menjadikan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan Minangkabau dibagi atas dua kelarasan, Koto Piliang dan Bodi Caniago.
Dari uraian tambo dapat dilihat, bahwa awal dari sistem matrilineal telah dimulai sejak awal, yaitu dari “induknya” Puti Indo Jalito. Dari Puti Indo Jalito inilah yang melahirkan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Namun, apa yang diuraikan setiap tambo punya berbagai variasi, karena setiap nagari punya tambo.
Dr. Edward Jamaris yang membuat disertasinya tentang tambo, sangat sulit menenyukan pilihan. Untuyk keperluan itu, dia harus memilih salah satu tambo dari 64 buah tambo yang diselidikinya. Namun pada umumnya tambo menguraikan tentang asal usul orang Minangkabau sampai terbentuknya kerajaan Pagaruyung.
Baca Juga :
- Rumah Gadang
- Cara Bikin Sate Padang
- Seni Berperang minangkabau
- Minangkabau Eksportir Senapan Abad 18
- Silek Minangkabau
- Penting dan Vitalnya Partisipasi Politik Wanita Minang
- Sumatera Barat Pemberontak Yang Taklukk
- Kota Padang Kota Metropolis Terbesar Di Nusantara Pada Abad 18
- Surat Kabar Koran Pertama Di Indonesia
- Petualangan Kapten Yonker dan Aru Palaka Di Minangkabau
- Dibalik Istana Bung Hatta Di Bukittinggi
- Penulisan Ulang Sejarah Minangkabau
- Sketsa perjalanan sejarah "Dapunta Hyang" nenek moyang minangkabau
- Sejarah Tenun Pandai Sikek
- Penganalisaan Sejarah Terpusat dan Sejarah Tersebar
- Tradisi Malamang
- Kerajaan Pagaruyuang ternyata tidak sendirian…
- Upacara-Upacara Adat Minangkabau
- GELAR di MINANGKABAU
- Empat Jenis Adat di Minangkabau
- Bundo Kanduang
- Baliakan ka KATO nan aslinyo...
TOKOH TOKOH MINANGKABAU
- Adityawarman Pendiri Kerajaan PAGARUYUNG
- Imam Bonjol
- Syeikh Burhanuddin ulakan
- Buya Hamka
- Bung Hatta
- Tan Malaka
- Mr.Prof.MUHAMMAD YAMIN,SH
- Syeikh Muhammad Tahir Jalaluddin Al-Azhari
- Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi
- Syeikh Muhammad Saleh AL-Minangkabawi
- Syeikh Ahmad Khatib AL-Minangkabawi
- Ahmad Syafi'i Ma'arif
- Syeikh Muhammad Jambek
- Abdoel Halim
- Taufik Ismail
- Aman Datuk Madjoindo
- Abdoel Moeis
- Muhammd Natsir
- Dr. M. Djamil Datuk Rangkayo Tuo
- Rohana Kuddus
- HR Rasuna Said
- AA. Navis
- Zubir Said
- Jend Pol (Purn) Prof. Dr. Awaloeddin Djamin, MPA
- Rosihan Anwar
Literatur
1.
H. Dt. Toeah, Tambo Alam MinangKabau
2. dll
Tidak ada komentar:
Posting Komentar