Rabu, 26 Agustus 2015

luthfi tompi1

peta Master plan rencana jembatan ngarai sianok

Rencana jembatan layang ngarai sianok


jenjang koto gadang dan jenjang seribu di ngarai sianok

RANTIANG KARIANG tabiang takuruang lambah sianok bukittinggi

OTO TEMPO DOELOE

TARUKO tabiang takuruang lambah sianok bukittinggi

FALSAFAH DAN MAKNA PAKAIAN PENGHULU DAN BUNDO KANDUANG PADA PERTUNJUKAN DETA DATUAK

MAKNA PAKAIAN PENGHULU DAN BUNDO KANDUANG PADA PERTUNJUKAN DETA DATUAK

MAKNA PAKAIAN PENGHULU DAN BUNDO KANDUANG PADA PERTUNJUKAN DETA DATUAK 
A. Fungsi dan Simbol Warna Dalam Busana Tari
Adapun yang dimaksud dengan busana atau pakaian tari ialah semua yang dipakai penari terdiri dari pakaian, perhiasan, dan perlengkapannya. Busana atau pakaian di dalam tari memiliki beragam fungsi, sebagai berikut:

1. Fungsi psikis : busana adalah lingkungan penari yang paling dekat dan akrab.
2. Fungsi artistik : busana adalah aspek seni rupa dalam penampilan tari yang menggambarkan identitas tarian/pemeran melalui, garis, bentuk, corak, dan warna busana. Dengan demikian maka pemeran seorang tokoh harus dikenal dari corak-coraknya.
3. Fungsi estetik : busana merupakan unsur keindahan tarian/peran yang menyatu dengan tubuh penari. Busana disini berfungsi membantu mengungkapkan karakter peran.

Di dalam seni tari tradisi, terntu akan dibalut oleh unsur-unsur seni rupa yang bersifat tradisi pula dan memiliki nilai serta makna yang telah membaku. Selain fungsi di atas, pada busana atau pakaian tari tradisional terdapat warna-warna simbolis umpamanya:

1. Warna merah sifatnya menarik sebagai simbol keberanian, agresif, aktif, raja sombong, ksatria putri, dan memiliki sifat teatrikal.
2. Warna biru sifatnya tenteram sebagai simbol kesetiaan, cocok untuk ksatria dan putri yang setia penuh dengan pengabdian.
3. Warna hitam adalah bijaksana, cocok untuk peran raja, ksatria, putri, pendeta bijaksana.
4. Warna kuning berkesan gembira dan agung.
5. Warna putih memiliki kesan muda dan suci(15). (Risyani, Pengantar Pengetahuan Tari. Departemen Pendidikan Nasional STSI Bandung,2005,h.33-34).

B. Pakaian Penghulu
Pada dasarnya pakaian Penghulu yang digunakan pada saat pertunjukan Deta Datuak tidak jauh berbeda dengan pakaian Penghulu yang dipakai di berbagai daerah di Sumatera Barat. Pada pertunjukan Deta Datuak tersebut, pakaian Penghulu terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Pakaian pertama Penghulu yang terdiri dari:
• Baju takwa berwarna putih
• Celana lapang (besar)
• Sisamping (samping)
• Cawek (ikat pinggang)
• Tongkat
2. Pakaian kedua Penghulu yang terdiri dari:
• Saluak
• Baju lapang (besar)
• Baju takwa
• Celana lapang (besar)
• Sisamping (samping)
• Cawek (ikat pinggang)
• Tongkat
3. Pakaian sekumpulan Penghulu yang terdiri dari:
• Saluak
• Baju lapang (besar)
• Celana lapang (besar)
• Sisamping (samping)
• Cawek (ikat pinggang)
• Sandang (salempang)
• Selop
• Tongkat

C. Makna Pakaian Penghulu
Sebagaimana kita ketahui dan kita lihat, pakaian Penghulu di Minangkabau sangat berlainan dengan pakaian-pakaian pemuka-pemuka adat di daerah lain. Pakaian Penghulu yang disebut diatas sebenarnya tidaklah dibuat demikian saja, tetapi cukup mempunyai hikmah dan falsafah yang mengandung ajaran-ajaran bagi si pemakainya (Penghulu). Dan pada pakaian itu sebenarnya terkandung banyak sekali rahasia yang menyangkut sifat-sifat dan martabat serta larangan seorang Penghulu begitupun tugasnya dan kepemimpinannya (ilmu yang bersangkutan dengan leadership)(16. H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau.PT. Remadja Rosdakarya Bandung, 2001, h.104-105)

1.Saluak
• Melambangkan sistem pemerintahan demokrasi dalam masyarakat Minangkabau.
• Melambangkan penyimpanan segala buruk baik, segala rahasia yang merupakan persoalan dalam masyarakatnya.
• Warna merah melambangkan keberanian.
• Warna hitam yang melambangkan dapat bekerjasama dalam bidang apa saja untuk kebaikan kaumnya atau masyarakat pada umumnya.
• Melambangkan bahwa Penghulu mempunyai derajat yang tertinggi dalam masyarakatnya.
• Melambangkan bahwa dalam mencari mufakat akan diperoleh suatu keputusan yang datar dan adil bagi segala pihak.
• Melambangkan bahwa orang yang memakainya adalah orang yang tahu dengan seluk beluk adat Minangkabau.
• Melambangkan kedalaman ilmu orang yang memakainya.

2. Baju lapang (besar)
• Melambangkan bahwa pemakainya adalah orang besar, beralam luas, berdada lapang dan bersifat sabar.
• Melambangkan keterbukaan pemimpin dan kelapangan dadanya.
• Selalu ingat dan menjaga kelestarian adat.
• Berilmu, berwibawa, bermagrifat, yakni tawakal kepada Allah.
• Kaya dan miskin terletak pada hati dan kebenaran.
• Hemat dan cermat.
• Sabar dan ridho.
• Melambangkan bahwa Penghulu tidak mempunyai sifat pembohong atau tidak pendusta, tidak mempunyai sifat mengambil kesempatan dalam kesempitan.
• Melambangkan bahwa Penghulu tidak berbuat merugikan orang lain atau kawan sendiri.
• Melambangkan bahwa orang Minangkabau hidup dengan penuh perasaan.
• Warna hitam melambangkan bahwa sepatah kata Penghulu tidak dapat dirubah lagi, karenanya semuanya yang dikatakan Penghulu itu merupakan hasil musyawarah bersama.
3. Celana lapang (besar)
• Melambangkan langkah yang selesai untuk menjaga segala kemungkinan musuh yang datang tiba-tiba. Walaupun lapang tetapi langkahnya mempunyai batas-batas tertentu dan mempunyai tata tertib tertentu pula.
• Melambangkan agar bersifat jujur, benar dan tulus-ikhlas.
• Melambangkan jangan berlindung pada orang lain semaunya, jangan suka enak sendiri dalam masyarakat.

4.Sisamping (samping)
• Melambangkan orang yang memakainya akan selalu hormat-menghormati.
• Warna merah melambangkan keberanian dan bertanggung jawab.
• Melambangkan si pemakai mempunyai pengetahuan yang cukup dalam bidangnya.
• Melambangkan agar pemakai dalam berjalan harus memelihara kaki, dan dalam berkata pelihara lidah. Dengan kata lain ”samping” tersebut dapat dikatakan melambangkan ”kehati-hatian” pemakai dalam segala tindak-tanduknya dalam masyarakat.

5.Cawek (ikat pinggang)
• Melambangkan setiap sesuatu itu harus dengan rundingan menyelesaikannya. Penghulu tidak boleh menjadi hakim sendiri.
• Melambangkan keteguhan orang Minangkabau pada perjanjian.

6.Sandang (salempang)
• Melambangkan tanggung jawab seorang Penghulu terhadap kesejahteraan anak kemenakannya.
• Melambangkan tanda kebesaran seorang Penghulu.
• Melambangkan bahwa Penghulu itu adalah orang yang jujur dan selalu menepati janji yang telah dibuat bersama.
• Melambangkan penghapus keringat yang terdapat pada kening.

7.Tongkat
• Melambangkan kebesaran pemakaianya, atau orang yang harus didahulukan dan dituakan sepanjang adat.
• Melambangkan kemampuan dan kemakmuran negeri.
• Melambangkan komando terhadap anak kemenakan.
• Melambangkan bahwa tiap-tiap keputusan yang telah dibuat, tiap peraturan yang telah ditetapkan harus dipertahankan dan ditegakkan dengan penuh wibawa.
• Melambangkan bahwa semua masalah tidak dikuasai sendiri dan tidak diselesaikan atau dihakimi sendiri.
• Melambangkan sebagai pertahanan diri terhadap serangan musuh.
• Melambangkan bahwa Penghulu mempunyai pembantu dalam menjalankan tugasnya(17. Drs.Anwar Ibrahim,dkk, Pakaian Adat Tradisional Daerah Sumatera Barat. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1986,h.29-98).

8. Baju takwa putih
• Melambangkan kesucian hati seorang Penghulu.
• Melambangkan kejernihan pikiran seorang Penghulu dalam pengambilan keputusan.
• Melambangkan bahwa Penghulu adalah seorang yang bertakwa kepada Tuhan.

9. Selop
Disini selop hanya berfungsi sebagai pelindung / pengaman kaki agar tidak terkena benda tajam, disamping itu juga perlindungan terhadap diri seorang Penghulu.

D. Pakaian Bundo Kanduang
Pada dasarnya pakaian Bundo Kanduang yang digunakan pada saat pertunjukan Deta Datuak tidak jauh berbeda dengan pakaian Bundo Kanduang yang dipakai di berbagai daerah di Sumatera Barat. Pada pertunjukan Deta Datuak tersebut, pakaian Bundo Kanduang terdiri dari:

1. Tengkuluk tanduk
2. Baju bertanti
3. Sarung (lambak)
4. Kalung
5. Gelang
6. Selop

Pakaian Bundo Kanduang
E. Makna Pakaian Bundo Kanduang
Pakaian Bundo Kanduang yang disebut diatas sebenarnya tidaklah dibuat demikian saja, tetapi cukup mempunyai hikmah dan falsafah yang mengandung ajaran-ajaran bagi si pemakainya (Bundo Kanduang)(Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, Pokok-Pokok Pengetahuan Adat Alam Minangkabau.
1. Tengkuluk tanduk
• Melambangkan rumah adat Minangkabau.
• Melambangkan akal budi Bundo Kanduang menyebar untuk masyarakat banyak.
• Melambangkan bahwa dalam memutuskan sesuatu haruslah dengan musyawarah mufakat dan hasilnya harus adil.
• Melambangkan tanggung jawab dan kepercayaan yang diberikan kepada Bundo Kanduang harus dijunjung tinggi.

2. Baju bertanti
• Melambangkan kekayaan alam Minangkabau dengan emas.
• Melambangkan masyarakat yang bermacam ragam berada dalam satu wadah yaitu adat Minangkabau.
• Melambangkan ketaatan Bundo Kanduang dalam menjalankan agama Islam.
• Melambangkan demokrasi yang luas di Minangkabau tetapi berada pada batas-batas tertentu.
• Warna merah melambangkan keberanian dalam menyatakan kebenaran.
• Warna hitam melambangkan tahan gempa dan dapat pergi kemana saja dalam melaksanakan tugasnya.

3.Sarung (lambak)
• Melambangkan bahwa dia seorang ”putri” yang memiliki tertib sopan dan mempunyai rasa jormat menghormati.
• Warna merah atau minimal kemerah-merahan sebagai lambang keberanian dan bertanggung jawab.
• Melambangkan bahwa segala sesuatu harus diletakkan pada tempatnya.

4.Kalung
• Melambangkan bahwa semua rahasia dikumpulkan oleh Bundo Kanduang.
• Melambangkan bahwa kebenaran akan tetap berdiri teguh.
• Melambangkan bahwa Bundo Kanduang menyimpan harta pusaka.

5.Gelang
• Melambangkan keindahan dan memamerkan kemampuan/kekayaan sipemakai.
• Pemakaian gelang melambangkan batas-batas yang dapat dilakukan oleh seorang dalam kehidupan ini.
• Melambangkan bahwa dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan harus disesuaikan dengan kemampuan.
• Melambangkan kedisiplinan adat Minangkabau(19).

6. Selop
Disini selop hanya berfungsi sebagai pelindung / pengaman kaki agar tidak terkena benda tajam, disamping itu juga perlindungan terhadap diri seorang Bundo Kanduang.


Pakaian adat tradisional Penghulu dan Bundo Kanduang mempunyai bermacam-macam variasi pada beberapa daerah tertentu di Minangkabau, i

PENGHULU NINIK MAMAK DI 

MINANG KABAU

PENGHULU NINIK MAMAK DI MINANG KABAU
Penghulu (dalam bahasa Minang disebut Pangulu) dan ninik mamak di Minang Kabau mempunyai peranan yang sangat penting dan menentukan dalam kekuatan kekerabatan adat Minang itu sendiri, tanpa penghulu dan ninik mamak suatu nagari di Minang Kabau diibaratkan seperti kampung atau negeri yang tidak bertuan karena tidak akan jalan tatanan adat yang dibuat, “Elok nagari dek Pangulu sumarak nagari dek nan mudo”
Pengertian Pangulu (Penghulu)
Pangulu berasal dari kata Pangka dan Hulu (pangkal dan hulu) Pangkal artinya tampuk atau tangkai yang akan jadi pegangan, sedangkan hulu artinya asal atau tempat awal keluar atau terbitnya sesuatu, maka pangulu di Minang Kabau artinya yang memegang tampuk tangkai yang akan menjadi pengendali pengarah pengawas pelindung terhadap anak kemenakan  serta tempat keluarnya sebuah aturan dan keputusan yang  dibutuhkan oleh masyarakat anak kemenakan yang dipimpin pangulu, “Tampuak tangkai didalam suku nan mahitam mamutiahkan tibo dibiang kamancabiak tibo digantaiang kamamutuih”
Pengertian Ninik Mamak
Ninik mamak adalah merupakan satu kesatuan dalam sebuah lembaga perhimpunan Pangulu dalam suatu kanagarian di Minang Kabau  yang terdiri dari beberapa Datuk-datuk kepala suku atau pangulu suku / kaum yang mana mereka berhimpun dalam satu kelembagaan yang disebut Kerapatan Adat Nagari (KAN). Diantara para datuk_datuk atau ninik mamak itu dipilih salah satu untuk menjadi ketuanya itulah yang dinamakan Ketua KAN. Orang-orang yang tergabung dalam KAN inilah yang disebut ninik mamak, “Niniak mamak dalam nagari pai tampek batanyo pulang tampek babarito”
Pengertian Datuak (Datuk)
Datuak (Datuk) adalah gelar pusako adat dalam suatu suku atau kaum yang diberikan kepada seseorang dalam suku atau kaum itu sendiri dengan dipilih atau ditunjuk  dan diangkat oleh anak kemenakan suatu suku atau kaum yang bersangkutan melalui upacara adat dengan syarat-sayarat tertentu menurut adat Minang.
Seorang Datuak dia adalah pangulu dalam suku atau kaumnya dan sekaligus menjadi ninik mamak dalam nagarinya, dengan pengertian yang lebih rinci lagi : Datuak gelarnya, Pangulu Jabatannya dan Ninik mamak lembaganya dalam nagari.
Sebagai Datauak dia harus menjaga martabatnya karena gelar datuak yang disandangnya adalah gelar kebesaran pusaka adat dalam suku atau kaumnya, banyak pantangan dan larangan yang tidak boleh dilanggar oleh seseorang yang bergelar datuak  dan tidak sedikit pula sifat-sifat positif yang wajib dimilikinya.
Sebagai Pangulu dia harus tau tugas dan tanggung jawabnya terhadap saudara dan kemenakannya dalam membina, mengayomi, melindungi dan mengatur pemanfaatan harta pusaka tinggi dan tanah ulayat untuk kemakmuran saudara dan kemenakannya, namun dia juag harus tetap menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga di rumah tangganya terhadap anak dan istrinya, “Anak dipangku jo pancarian, kamanakan dibimbiang jo pusako”
Sebagai anggota ninik  mamak dia adalah perwakilan dari suku atau kaumnya layaknya seperti anggota DPRD (dalam istilah MInang disebut Andiko) dalam pemerintahan nagari yang mewakili konstituennya untuk menyampaikan dan memperjuangakan aspirasi kaum yang dipimpinnya serta untuk membantu menyelesaikan berbagai permasalahan yang timbul pada anak kemenakannya dalam nagari, “Andiko didalam kampuang kusuak nan kamanyalasai karuah nan kamampajaniah”
Berbagai permasalahan anak kemenakan yang berhubungan dengan hidup bernagari dan berkorong kampung dibahas oleh ninik mamak dari berbagai pengulu kepala suku atau atau datuk – datuk kaum bersama alim ulama cerdik pandai serta pemerintahan nagari di Balai Adat yang disebut balerong dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN), “Balerong ditanah Minang tampek duduk nak samo randah, tampek tagak nak samo tinggi, tampek duduak bajalan baiyo, tampek tagak bakato bamolah, tampek manjari bana nan saukua nak tibo kato dimufakat, tampek mahukum nak samo adia, tampek mambagi nak samo banyak”
Hasil musyawarah mufakat inilah yang dijadikan pedoman dalam menata kehidupan bermasyarakat di dalam suatu kenagarian dan disinilah dirumuskan Adat nan diadatkan beserta Adat Istiadat yang disesuaikan dengan kebutuhan situasi kondisi serta perkembangan masyarakat dan kemajuan zaman yang tentunya tetap mengacu kepada landasan Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah.
Dalam melaksanakan tugasnya Pangulu dipanggil dengan sebutan “Urang nan gadang basa batuah” dia gadang pada kaumnya dia basa pada sukunya dan dia batuah dalam nagari, gadang dalam kaumnya artinya seorang pengulu dia dibesarkan atau dituakan selangkah dalam kaumnya, dan basa pada sukunya artinya dia menjadi panutan, pemimpin pengatur dalam sukunya, sedangkan batuah dalam nagari artinya seorang pangulu karena dia ninik mamak maka apa-apa yang dikatakan dan diperbuatnya juga menjadi acuan sehingga dia disegani dan dihormati dalam nagari.
Seorang pangulu adalah pucuk pimpinan dalam kaumnya pada suatu unit pemerintahan dalam nagari, pangulu dibantu oleh tiga unsur perangkat adat yaitu :
1.      Malin yang membidangi persoalan agama
2.      Manti sebagai pelaksana kebijakan
3.      Dubalang ysng brtsnggung jswab terhadap keamanan
Inilah yang disebut urang nan ampek jinih yaitu Pangulu, Malin, Manti dan Dubalang.
Memilih dan mengukuhkan seorang Pangulu atau datuak.
Seorang Datuaul atau pangulu dipilih dan dinobatkan apabila terjadi beberapa hal dalam suatu suku atau kaum :
1.      Apa bila Datuk atau Pangulu yang terdahulu tealah meninggal dunia (Patah tumbuah hulang baganti)
2.      Apa bila Datauk atau Pangulu yang saat ini sedang menyandang gelar datuak telah berusia lanjut atau dalam keadaan sakit berat dan tidak mungkin atau sanggup lagi untuk menjalankan tugas-tugasnya sebagai Datauak atau Pangulu. (Hilang dicari lapuak diganti)
3.      Apa bila Datauak yang sedang menyandang gelar Datuak atau Pangulu saai ini mengundurkan diri minta diganti, (Malatak-an gala)
4.      Apa bila terjadi pelanggaran moral, adat dan agama serta hukum yang berlaku lainnya oleg orang yang menyandang gelar Datuak atau Pangulu saat ini dan anak kemenakan sepakat untuk menggantinya, (Mambuek cabuah jo sumbang salah)
5.      Kalau ada Datauk atau pangulu yang sudah lama tidak di angkat karena sesuatu hal dan saat ini sudah memnuhi syarat untuk dianggkat (Mambangkik Batang Tarandam)
Dalam tatanan adat Minang Kabau ada 2 cara memilih seorang pangulu atau datuak :
1.      Menurut adat Suku Bodi Chaniago dan pecahannya (banyak lagi nama suku suku yang lain pecahan dari suku asal Bodi dan Chaniago ata Koto Piliang) seorang pangulu atau datuak dipilih secara musyawarah mufakat oleh anak kemenakan suku tersebut berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan mempertimbangkan mungkin dan patut, dalam istilah adat disebut “Hilang dicari lapuak diganti, duduak samo randah tagak samo tinggi, duduak saamparan tagak sapamatang”
2.      Menurut adat suku Koto Piliang dan pecahannya seorang pangulu atau datauak dipilih berdasarkan keturunan dan pergiliran gelar pengulu tersebut dalam suku atau kaum itu berdasarkan syarat-syarat tertentu dengan mempertimbangkan mungkin dan patut, dalam istilah adat disebut “ramo ramo sikumbang jati katik endah pulang bakudo, patah tumbuah hilang baganti pusako lakek kanan mudo”, rueh tumbuah dimato.
Syarat-syarat seseorang dipilih menjadi seorang pangulu atau datuak :
1.      Memenuhi 4 sifat nabi Sidik, Tablihk, Amanah, dan Fthanah
2.      Loyalitas yang tinggi terhadap kaum, suku, anak kemenakan dan nagari
3.      Berilmu pengetahuan tentang adat dan agama dll
4.      Adil dalam memimpin anak kemenakan dan keluarga
5.      Berani dalam menegakkan kebenaran dan mencegah kebathilan
6.      Taat menjalankan ajaran agama dan adat
7.      Tidak cacat moral dimata masyarakat dalam nagari
8.      Mungkin dan patut, ini yang paling dipertimbangkan, karena ada orang yang mungkin tapi tidak patut, dan ada yang patut tapi tidak mungkin, contohnya adalah ada orang yang memenuhi syarat-syarat diatas tetapi di hidup di rantau yang jauh, di mungkin menjadi pangulu tetapi tidak patut karena dia jauh dirantau sedangkan dia akan mengayomi dan mengurus anak kemenakannya dikampung, atau ada yang tinggal dikampung namun tidak memenuhi syarat jadi pangulu, dia patut jadi pangulu tapi tidak mungkin karena kurang persyaratan, yang masuk menurut logika, “batamu mungkin jo patuik sasuai ukua jo jangko takanak barih jo balabeh lah tibo wakatu jo musimnyo disitu alek dibuek”
Pengukuhan dan penobatan pangulu
Setelah pangulu dipilih dengan musyawarah mufakat melalui demokrasi moril secara adat antara anak kemenakan dalam suatu suku atau kaum maka segenap anak kemenakan atau kaum tersebut mempersiapkan acar pengukuhan pada sebuah upacara adat perjamuan Baralek gadang dalam nagari dan ini disebut “malewakan kanan rami, bia basuluah mato hari bagalanggang mato rang banyak”.
Dalam perjamuan baralek gadang pengukuhan seorang pangulu terdapat beberapa symbol-simbol adat diantaranya adalah :
1.      Mambantai Kabau, “Kabau didabiah tanduak dibanam darah dikacau dagiang dilapah” (menyembelih kerbau, kerbau disembelih, tanduk ditanam, darah dikacau daging dimakan) pengertian menyembelih kerbau adalah membunuk sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam diri seoerang pangulu, tanduk ditanam artinya membuang sifat-sifat hewani yang cendrung melukai dan membinasakan dari jiwa seorang pangulu pemimpin adat, sedangkan pengertian darah dikacau adalah mendinginkan darah yang panas dalam hati seorang pemimpin, karean seorang pangulu harus bejiwa teduh mengayomi dia harus tau kalau dia adalah pemimpin tidak boleh berhati dan berdarah panas dalam menghadapi orang yang dipimpinnya, dan dan pengertian daging dilapah adalah bahwa seorang ninik mamak dia adalah tempat mengadu anak kemenakannya dikala susah dan kelaparan, harta pusaka tinggi dan ulayat yang diaturnya adalah untuk kemakmuran anak kemenakannya, “Kok pangulu lai dinan bana bumi sanang padi manjadi taranak bakambang biak anak kamanakan basanang hati urang kampuang sato manyukoi”
2.      Marawa dipancangkan (mengibarkan umbul-umbul) dimedan perhelatan. Marawa 3 warna : kuning, merah dan hitam berdiri kokoh menjulang tinggi keudara namun ujungnya menjulai tunduk kebawah dengan pengertian :
1.      Warna kuning melambangkan kekuasaan seorang pangulu (mahukum adia bakato bana)
2.      Warna merah melambangkan keberanian (barani karano bana, takuaik karano salah)
3.      Warna hitam melambangkan kesabaran dan ketabahan seorang pangulu dalam mengahadapi anak kemenakannya.
4.      Berdiri kokoh menjulang tinggi artinya seorang pangulu harus mempunyai wibawa dan kharismatik  ditengah-tengah kaum dan masyarakat dalam nagari.
5.      Ujung marawa  menjulai tunduk kebawah melambangkan walau pangulu orang yang ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah namun dia tetap harus melihat kebawah memperhatikan dan mengayomi orang yang dipimpinnya dengan rendah hati memakai ilmu padi semakin berisi semakin tunduk.
3.      Malatuihan badia sadantam (meletuskan bedil sedantam) nan gaganyo karonggo bimi dantangnyo sampai kalangik (gegrnya kerongga bumi gaumnya sampai ke langit) itulah ikrar seorang pengulu kepada manusia dan janjinya kepada Allah sebagai sumpah jabatan yang mesti dipertanggung jawabkan.
Kedaulatan seorang Datuak atau Pangulu
Kedaulatan seorang Datuak atau Pangulu di Minang Kabau tidak lebih seperti powernya seorang ketua sebuah oprganisasi dia ada karena dipilih dan diangakat oleh kaumnya “nan diamba gadang dianjuang tinggi”  gadangnyo karano diamba tinggunyo karano dianjuang, apa bila anak kemenakan meninggikan dia maka tinggilah dia, tinggi dimata anak kemenakan dan tinggi dimata urang nagari tapi kalau anak kemenakan sudah tidak menghormatinya lagi maka dengan sendirinya hilang pulalah kehormatan seorang datauak atau pangulu.
Pemberhentian seorang Datauak atau pangulu tidaklah harus menunggu satu priode masa jabatan karena tidak ada batasan masa jabatan seorang Pangulu atau datuak di Ranah Minang, kalau seorang datuak atau pangulu telah berbuat sumbang salah menurut adat dan agama maka gelar datauak atau pengulunya sudah bisa dilucuti atau diberhentikan jadi datauak atau pangulu dan menggantinya dengan yang lain “Kalau punco mararak ulu kalau pasak mambaok guyah kalau tungkek mambaok rabah mohon datuak baganjua suruik banyak nan lain kapangganti”
Batasan antara Datauk atau Pangulu dengan anak kemenakan yang dipimpinnya hanyalah sebatas kejujuran dalam mungkin dan patuik, oleh sebab itu maka seorang pangulu haruslah adil dan bijak sana dalam memimpin anak kemenakannya, “Jikoklah tagak dinan cupiang manampuah jalan baliku, bakato indak dinan bana, mahukum indak dinan adia mambagi bak kato surang disinan baju balipeknyo mamak diganti jonan lain”.
Kekuasaan Ninik mamak dalam adat Minang kabau hanyalah “tinggi sarantiang jumbo-jomboan sarangguik runtuah badaram, didahulukan cuman salangkah bajarak tungkai-tungkaian sahambua lompeklah tibo sadatiak wakatu nampak satitiak salah basuo baitu ukua jo jangko di dalam alam Minang Kabau”.  
Namun demikian ditangan pangulu berhimpun kekuasaan yang besar dalam menjalankan tugas membimbing dan mengatur anak kemenakannya, ninik mamak mampunyai fungsi Eksekutif sebagai pelaksana kekuasaan, fungsi Legislatif sebagai pembuat aturan dan funsi yudikatif sebagai pengambik keadilan, funsi ini dilakukan oleh ninik mamak yang disebut “uarang nan ampek jinih” (pangulu, malin, manti dan dubalang) yang mana pangulu sebagai koordinatornya.
Itulah sebabnya Pangulu dan urang nan ampek jinih disebut “Bak kayu gadang ditangah koto ureknyo tampek baselo batangnyo tampek basanda dahannyo tampek bagantuang daun rimbunnyo tampek bataduah, tampek bahimpun hambo rakyat, pai tampek batanyo pulang tampek babarito, sasek nan kamanyapo tadorong nan kamanyintak, tibo dikusuik kamanyalasai tibo dikaruah mampajaniah, mahukum adia bakato bana”
Pangulu dan ninik mamak adalah Ulil amri yang wajib ditaati dan dipatuhi karena dia adalah pemimpin yang dipilih oleh anak kemenakannya sendiri “Tutua sakapa digunuangkan kakok satitiak dilauikkan” dia dimulyakan dihormati dan dijaga martabatnya oleh anak kemenakannya karena Pangulu di Minang Kabau adalah lambang kebesaran suatu suku atau kaum yang wajib dijaga dan dimulyakan.
Namun Pangulu dan ninik mamak bukanlah seperti raja-raja yang harus disembah dan dipuja setinggi langit dan dia tidak boleh dikultuskan seperti dewa-dewa bangsa lain, di Minang Kabau tidak ada istilah bangsawan walaupun dia seoerang datuk apalagi hanya keturunan datuk, di Minang Kabau semua derajat manusia sama tidak ada bedanya, pemimpin adat hanyalah ditinggikan seranting didahulukan selangkah dan dituakan dalam kaum.
Dalam Pakaian Pangulu mulai dari Salauk (Tutup kepala) baju, salempang, celana, keris, ikat pinggang dan sandal semuanya mempunyai arti dan makna yang sangat luas untuk dipahami oleh seorang yang bergelar Datuak atau pengulu.
Tatanan masyarakat Mianag kabau memakai palsapaf “Kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo kapangulu, pangulu barajo kamufakat, mufakat barajo kanan bana, bana badiri sandirinyo, itulah inyo hokum Allah”.

MINANGKABAU DALAM SEJARAH DAN TAMBO

MINANGKABAU DALAM SEJARAH DAN TAMBO

Asal Masyarakat Minangkabau

Kata Minangkabau mengandung banyak pengertian. Minangkabau dipahamkan sebagai sebuah kawasan budaya, di mana penduduk dan masyarakatnya menganut budaya Minangkabau. Kawasan budaya Minangkabau mempunyai daerah yang luas. Batasan untuk kawasan budaya tidak dibatasi oleh batasan sebuah propinsi. Berarti kawasan budaya Minangkabau berbeda dengan kawasan administratif Sumatera Barat.

Minangkabau dipahamkan pula sebagai sebuah nama dari sebuah suku bangsa, suku Minangkabau. Mempunyai daerah sendiri, bahasa sendiri dan penduduk sendiri.
Minangkabau dipahamkan juga sebagai sebuah nama kerajaan masa lalu, Kerajaan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Sering disebut juga kerajaan Pagaruyung, yang mempunyai masa pemerintahan yang cukup lama, dan bahkan telah mengirim utusan-utusannya sampai ke negeri Cina. Banyaknya pengertian yang dikandung kata Minangkabau, maka tidak mungkin melihat Minangkabau dari satu pemahaman saja.

Membicarakan Minangkabau secara umum mendalami sebuah suku bangsa dengan latar belakang sejarah, adat, budaya, agama, dan segala aspek kehidupan masyarakatnya. Mengingat hal seperti itu, ada dua sumber yang dapat dijadikan rujukan dalam mengkaji Minangkabau, yaitu sumber dari sejarah dan sumber dari tambo. Kedua sumber ini sama penting, walaupun di sana sini, pada keduanya ditemui kelebihan dan kekurangan, namun dapat pula saling melengkapi.

Menelusuri sejarah tentang Minangkabau, sebagai satu cabang dari ilmu pengetahuan, maka mesti didasarkan bukti-bukti yang jelas dan otentik. Dapat berupa peninggalan-peninggalan masa lalu, prasasti-prasasti, batu tagak (menhir), batu bersurat, naskah-naskah dan catatan tertulis lainnya. Dalam hal ini, ternyata bukti sejarah lokal Minangkabau termasuk sedikit.

Banyak catatan dibuat oleh pemerintahan Hindia Belanda (Nederlandsche Indie), tentang Minaangkabau atau Sumatera West Kunde, yang amat memerlukan kejelian di dalam meneliti. Hal ini disebabkan, catatan-catatan dimaksud dibuat untuk kepentingan pemerintahan Belanda, atau keperluan dagang oleh Maatschappij Koningkliyke VOC.

Tambo atau uraian mengenai asal usul orang Minangkabau dan menerakan hukum-hukum adatnya, termasuk sumber yang mulai langka di wilayah Minangkabau sekarang. Sungguhpun, penelusuran tambo sulit untuk dicarikan rujukan seperti sejarah, namun apa yang disebut dalam tambo masih dapat dibuktikan ada dan bertemu di dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

Tambo diyakini oleh orang Minangkabau sebagai peninggalan orang-orang tua. Bagi orang Minangkabau, tambo dianggap sebagai sejarah kaum. Walaupun, di dalam catatan dan penulisan sejarah sangat diperhatikan penanggalan atau tarikh dari sebuah peristiwa, serta di mana kejadian, bagaimana terjadinya, bila masanya, dan siapa pelakunya, menjadikan penulisan sejarah otentik. Sementara tambo tidak terlalu mengutamakan penanggalan, akan tetapi menilik kepada peristiwanya. Tambo lebih bersifat sebuah kisah, sesuatu yang pernah terjadi dan berlaku.

Tentu saja, bila kita mempelajari tambo kemudian mencoba mencari rujukannya sebagaimana sejarah, kita akan mengalami kesulitan dan bahkan dapat membingungkan. Sebagai contoh; dalam tambo Minangkabau tidak ditemukan secara jelas nama Adhytiawarman, tetapi dalam sejarah nama itu adalah nama raja Minangkabau yang pertama berdasarkan bukti-bukti prasasti.

Dalam hal ini sebaiknya sikap kita tidak memihak, artinya kita tidak menyalahkan tambo atau sejarah. Sejarah adalah sesuatu yang dipercaya berdasarkan bukti-bukti yang ada, sedangkan tambo adalah sesuatu yang diyakini berdasarkan ajaran-ajaran yang terus diturunkan kepada anak kemenakan.

Minangkabau menurut sejarah

Banyak ahli telah meniliti dan menulis tentang sejarah Minangkabau, dengan pendapat, analisa dan pandangan yang berbeda. Tetapi pada umumnya mereka membagi beberapa periode kesejarahan; Minangkabau zaman sebelum Masehi, zaman Minangkabau Timur dan zaman kerajaan Pagaruyung. Seperti yang ditulis MD Mansur dkk dalam Sejarah Minangkabau, bahwa zaman sejarah Minangkabau pada zaman sebelum Masehi dan pada zaman Minangkabau Timur hanya dua persen saja yang punya nilai sejarah, selebihnya adalah mitologi, cerita-cerita yang diyakini sebagai tambo.

Prof Slamet Mulyana dalam Kuntala, Swarnabhumi dan Sriwijaya mengatakan bahwa kerajaan Minangkabau itu sudah ada sejak abad pertama Masehi.

Kerajaan itu muncul silih berganti dengan nama yang berbeda-beda. Pada mulanya muncul kerjaan Kuntala dengan lokasi sekitar daerah Jambi pedalaman. Kerajaan ini hidup sampai abad ke empat. Kerajaan ini kemudian berganti dengan kerajaan Swarnabhumi pada abad ke lima sampai ke tujuh sebagai kelanjutan kerajaan sebelumnya. Setelah itu berganti dengan kerajaan Sriwijaya abad ke tujuh sampai 14.

Mengenai lokasi kerajaan ini belum terdapat kesamaan pendapat para ahli. Ada yang mengatakan sekitar Palembang sekarang, tetapi ada juga yang mengatakan antara Batang Batang Hari dan Batang Kampar. Candi Muara Takus merupakan peninggalan kerajaan Kuntala yang kemudian diperbaiki dan diperluas sampai masa kerajaan Sriwijaya. Setelah itu muncul kerajaan Malayapura (kerajaan Melayu) di daerah yang bernama Darmasyraya (daerah Sitiung dan sekitarnya sekarang). Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Sriwijaya. Kerajaan ini kemudian dipindahkan oleh Adhytiawarman ke Pagaruyung. Sejak itulah kerajaan itu dikenal dengan kerajaan Pagaruyung.

Menurut Jean Drakar dari Monash University Australia mengatakan bahwa kerajaan Pagaruyung adalah kerajaan yang besar, setaraf dengan kerajaan Mataram dan kerajaan Melaka. Itu dibuktikannya dengan banyaknya negeri-negeri di Nusantara ini yang meminta raja ke Pagaruyung, seperti Deli, Siak, Negeri Sembilan dan negeri-negeri lainnya.

Minangkabau menurut tambo.

Dalam bentuk lain, tambo menjelaskan pula tentang asal muasal orang Minangkabau. Tambo adalah satu-satunya keterangan mengenai sejarah Minangkabau. Bagi masyarakat Minangkabau, tambo mempunyai arti penting, karena di dalamtambo terdapat dua hal:

(1) Tambo alam, suatu kisah yang menerangkan asal usul orang Minangkabau semenjak raja pertama datang sampai kepada masa kejayaan kerajaan Pagaruyung.
(2) Tambo adat, uraian tentang hukum-hukum adat Minangkabau. Dari sumber inilah hukum-hukum, aturan-aturan adat, dan juga berawalnya sistem matrilineal dikembangkan.

Di dalam Tambo alam diterangkan bahwa raja pertama yang datang ke Minangkabau bernama Suri Maharajo Dirajo. Anak bungsu dari Iskandar Zulkarnain. Sedangkan dua saudaranya, Sultan Maharaja Alif menjadi raja di benua Rum dan Sultan Maharajo Dipang menjadi raja di benua Cina. Secara tersirat tambo telah menempatkan kerajaan Minangkabau setaraf dengan kerajaan di benua Eropa dan Cina. Suri Maharajo Dirajo datang ke Minangkabau ini, di dalam Tambo disebut pulau paco lengkap dengan pengiring yang yang disebut; Kucing Siam, Harimau Campo, Anjiang Mualim, Kambiang Hutan.

Masing-masing nama itu kemudian dijadikan “lambang” dari setiap luhak di Minangkabau. Kucing Siam untuk lambang luhak Tanah Data, Harimau Campo untuk lambang luhak Agam dan Kambiang hutan untuk lambang luhak Limo Puluah. Suri Maharajo Dirajo mempunya seorang penasehat ahli yang bernama Cati Bilang Pandai.

Suri Maharajo Dirajo meninggalkan seorang putra bernama Sutan Maharajo Basa yang kemudian dikenal dengan Datuk Katumanggungan pendiri sistem kelarasan Koto Piliang. Puti Indo Jalito, isteri Suri Maharajo Dirajo sepeninggalnya kawin dengan Cati Bilang Pandai dan melahirkan tiga orang anak, Sutan Balun, Sutan Bakilap Alam dan Puti Jamilan. Sutan Balun kemudian dikenal dengan gelar Datuk Perpatih Nan Sabatang pendiri kelarasan Bodi Caniago.

Datuk Katumanggungan meneruskan pemerintahannya berpusat di Pariangan Padang Panjang kemudian mengalihkannya ke Bungo Sitangkai di Sungai Tarab sekarang, dan menguasai daerah sampai ke Bukit Batu Patah dan terus ke Pagaruyung.

Maka urutan kerajaan di dalam Tambo Alam Minangkabau adalah:

(1) Kerajaan Pasumayan Koto Batu,
(2) Kerajaan Pariangan Padang Panjang
(3) Kerajaan Dusun Tuo yang dibangun oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang
(4) Kerajaan Bungo Sitangkai
(5) Kerajaan Bukit Batu Patah dan terakhir
(6) Kerajaan Pagaruyung.

Menurut Tambo Minangkabau, kerajaan yang satu adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya. Karena itu, setelah adanya kerajaan Pagaruyung, semuanya melebur diri menjadi kawasan kerajaan Pagaruyung.

Kerajaan Dusun Tuo yang didirikan oleh Datuk Perpatih Nan Sabatang, karena terjadi perselisihan paham antara Datuk Ketumanggungan dengan Datuk Perpatih nan Sabatang, maka kerajaan itu tidak diteruskan, sehingga hanya ada satu kerajaan saja yaitu kerajaan Pagaruyung. Perbedaan paham antara kedua kakak beradik satu ibu ini yang menjadikan sistem pemerintahan dan kemasyarakatan Minangkabau dibagi atas dua kelarasan, Koto Piliang dan Bodi Caniago.

Dari uraian tambo dapat dilihat, bahwa awal dari sistem matrilineal telah dimulai sejak awal, yaitu dari “induknya” Puti Indo Jalito. Dari Puti Indo Jalito inilah yang melahirkan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sabatang. Namun, apa yang diuraikan setiap tambo punya berbagai variasi, karena setiap nagari punya tambo.

Dr. Edward Jamaris yang membuat disertasinya tentang tambo, sangat sulit menenyukan pilihan. Untuyk keperluan itu, dia harus memilih salah satu tambo dari 64 buah tambo yang diselidikinya. Namun pada umumnya tambo menguraikan tentang asal usul orang Minangkabau sampai terbentuknya kerajaan Pagaruyung.
Baca Juga :

Rumah Gadang
Cara Bikin Sate Padang
Seni Berperang minangkabau
Minangkabau Eksportir Senapan Abad 18
Silek Minangkabau
Penting dan Vitalnya Partisipasi Politik Wanita Minang
Sumatera Barat Pemberontak Yang Taklukk
Kota Padang Kota Metropolis Terbesar Di Nusantara Pada Abad 18
Surat Kabar Koran Pertama Di Indonesia
Petualangan Kapten Yonker dan Aru Palaka Di Minangkabau
Dibalik Istana Bung Hatta Di Bukittinggi
Penulisan Ulang Sejarah Minangkabau
Sketsa perjalanan sejarah "Dapunta Hyang" nenek moyang minangkabau
Sejarah Tenun Pandai Sikek
Penganalisaan Sejarah Terpusat dan Sejarah Tersebar
Tradisi Malamang
Kerajaan Pagaruyuang ternyata tidak sendirian…
Upacara-Upacara Adat Minangkabau
GELAR di MINANGKABAU
Empat Jenis Adat di Minangkabau
Bundo Kanduang
Baliakan ka KATO nan aslinyo...

TOKOH TOKOH MINANGKABAU

Adityawarman Pendiri Kerajaan PAGARUYUNG
Imam Bonjol
Syeikh Burhanuddin ulakan
Buya Hamka
Bung Hatta
Tan Malaka
Mr.Prof.MUHAMMAD YAMIN,SH 
Syeikh Muhammad Tahir Jalaluddin Al-Azhari
Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi
Syeikh Muhammad Saleh AL-Minangkabawi
Syeikh Ahmad Khatib AL-Minangkabawi
Ahmad Syafi'i Ma'arif
Syeikh Muhammad Jambek
Abdoel Halim
Taufik Ismail
Aman Datuk Madjoindo
Abdoel Moeis
Muhammd Natsir
Dr. M. Djamil Datuk Rangkayo Tuo
Rohana Kuddus
HR Rasuna Said
AA. Navis
Zubir Said
Jend Pol (Purn) Prof. Dr. Awaloeddin Djamin, MPA
Rosihan Anwar

Literatur
1.       H. Dt. Toeah, Tambo Alam MinangKabau
2.       dll

luthfi tompi

tabiang takuruang lambah sianok bukittinggi

PAMPLET

LOGO INDRA GHUPA Adv

INDRA GHUPA Adv.

JANJANG PARAK TINGGA LAMBAH SIANOK